BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hidup dan Riwayat Pendidikan Syed M. Naquib Al-Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, lahir di Bogor, Jawa Barat, tepatnya pada
tanggal 5 September 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein al-Attas,
seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah al-Attas, sedangkan ibunya bernama
Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa
Barat. Ayahnya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya merupakan keturunan
ulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan sayid yang dalam tradisi
islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari nabi
Muhammad.[1]
Melihat garis
keturunan di atas dapat dikatakan bahwa Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan
“bibit unggul” dalam percaturan perkembangan intelektual Islam di Indonesia dan
Malaysia. Faktkor intern keluarga Syed Muhammad Naquib al-Attas inilah yang
selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orang tua selama
lima tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya.
Orang tuanya yang sangat religius memberikan pendidikan dasar yang sangat
kuat.
Ia berada di Johor Baru sejak ia masih berusia 5 tahun. Ia tinggal bersama
dan di bawah dididikan saudara ayahnya, Encik Ahmad. Setelah itu ia tinggal
dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee
Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Melihat perkembangan yang
kurang menguntungkan, yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Syed
Muhammad Naquib al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia kemudian
melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wutsqa, Sukabumi selama lima tahun.
Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas mendalami dan mendapatkan
pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami
karena saat itu di Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat Naqsabandiyah.[2] Tahun
1946 ia kembali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya, Engku
Abdul Aziz (menteri besar Johor kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian
juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama).
Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran
di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun
1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955). Karir militer al-Attas dimulai di laskar tertara gabungan Malaysia-Inggris
dengan pangkat perwira kader, kecenderungannya dalam dunia militer ini membuat
dia terpilih untuk mengikuti pendidikan militer di Easton Hall, Chaster,
Inggris dari tahun 1952-1955. Sedangkan pangkat terakhir yang diraihnya di
dunia militer ini adalah letnan.[3]
Walaupun karir al-Attas sangat cemerlang di dunia militer, namun minat
besarnya terhadap ilmu telah mendorongnya untuk meninggalkan dunia militer ini,
dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya terhadap dunia ilmu. Karir akademiknya,
setelah meninggalkan karir militer adalah masuk ke University of Malay,
Singapore 1957-1959. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia dikirim
oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic
Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia
berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the
Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh.[4]
Alasan dia mengambil judul tersebut karena ingin membuktikan bahwa
islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan di kolonial
Belanda, melainkan murni dari upaya islam sendiri.
Selanjutnya dia
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and
Arfican Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai
pusat kaum orientalis. Di universitas ini, dia menekuni teologi dan metafisika,
dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah
Fansuri”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The
Mysticism of Hamzah Fansuri.[5]
Setelah tamat dari
universitas London, dia kembali ke almamaternya, University Malay. Di sini dia
bekerja sebagai dosen, dan tak lama kemudian diangkat sebagai ketua jurusan
sastra Melayu. Karir akademiknya terus menanjak dan di lembaga ini dia
merancang dasar-dasar bahasa Malaysia. Kemudian tahun 1970, ia tercatat sebagai
salah satu pendiri University Kebangsaan Malaysia. Dan di universitas yang baru
ini, dua tahun kemudian, dia diangkat sebagai profesor untuk Studi Sastra dan
Kebudayaan Melayu, dan kemudian pada 1975, dia diangkat sebagai dekan fakultas
sastra dan kebudayaan Melayu Universitas tersebut.[6]
Otoritas al-Attas di bidang pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya
dalam dunia Melayu dan Islam, tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan
ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan internasional. Ini dapat
dilihat dari sekian banyak penghargaan yang diberikan terhadapnya sehubungan
dengan karir intelektualnya, khususnya dalam filsafat Islam. Diantaranya adalah
pengangkatan sebagai anggota American Philoshopical Assocation, dan penghargaan
sebagai filosof yang telah memberikan sumbangan besar bagi kebudayaan Islam
dari Akademi Falsafah Maharaja Iran. Dan terakhir ia diserahi jabatan oleh kementrian
pendidikan dan olah raga Malaysia untuk memimpin Institut Internasional
Pemikiran dan Tamaddun Islam, yaitu lembaga otonom yang berada pada Universitas
Antar Bangsa, Malaysia.
B.
Corak Pemikiran
Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Apabila
ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas,
tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai
suatu sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus
mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang
dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang,
memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian ,yakni dimensi isoterikvertikal
yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan dimensi eksoterik, dialektikal,
horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua;
manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.[7]
Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu
keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma
pendidikan yang terpadu.
Paradigma pendidikan
yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu
ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana
tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem
pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses
pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional,
intelek dan filosofis.[8]
Dari deskripsi
di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah
mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga
prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam
konsepsinya tentang ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep
ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan
posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat
mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan
ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran
agama.
Hal itu
merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan al-Attas
lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga
tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris).
Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang
bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal
adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif,
afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk.[9]
Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak
hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra
rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari
dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadist. Domain
iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup
peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang
dilakukan.
C.
Konsep Pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
Ada beberapa istilah yang
dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" yang
pengistilahan itu diambil dari lafadz bahasa Arab (al-Qur'an) maupun as-Sunnah,
misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib bahkan
ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan berikut ini akan
disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep
pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah
(lafadz) ta’dib, daripada istilah-istilah lainnya. Pemilihan
istilah ta’dib merupakan hasil analisa tersendiri bagi al-Attas dengan
menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan
pesan-pesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah
mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep
yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Kata ta’dib
sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata yang berasal dari
kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.[10]
Dalam pandangan al-Attas,
dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah
proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan
substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang
menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses
mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai
pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’[11]
Al-Attas melihat bahwa
adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah SAW yang
bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti
menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana perkataannya: “Tuhanku
telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang
paling baik.[12]
Sesuai dengan ungkapan di
atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri
manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat
kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana
penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis
dengan kehidupan masyarakat.[13] Oleh
karena itu, menurut al-Attas, antara ilmu, amal dan adab merupakan satu
kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas
bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki
relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara
ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah
istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa
pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif
baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas konsep itu masih
bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya.
Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan
yang bersifat fisik dan material.[14]
Lebih lanjut, al-Attas
menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah
terletak pada makna substansinya. Kata tarbiyah lebih menonjolkan
pada aspek kasih sayang (rahmah). Sementara ta’dib, selain dimensi
rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia
mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti
mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik.
Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu
pakai.[15]
Sebuah pemaknaan dari
konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia
adalah subyek yang dapat dididik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai
makhluk kosmis. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh
dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas
pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat
nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya
untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. [16]
D.
Tujuan Pendidikan Islam menurut
Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Al-Attas beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan
kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu.
Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni
kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping, tujuan pendidikan Islam yang
menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan
pembentukan masyarakat yang idel tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, ”...
Karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang
atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula
menghasilkan suatu masyarakat yang baik.”[17]
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia
yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang
mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba
Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah/pemimpin
di muka bumi). Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan
ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat muslim
yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW.[18]
Dengan harapan yang
tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia
paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi SAW. Pandangan al-Attas
tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari
individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat
yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing
individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari
individu-individu.
E.
Sistem Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
Sebagaimana yang tertuang
dalam tujuan pendidikan Islam di atas, bahwa al-Attas mendeskripsikan tujuan
tersebut adalah mewujudkan manusia sempurna secara universal. Dengan begitu,
berarti sistem pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang
terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan.
Al-Attas berpandangan
bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani, maka ilmu juga
terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan
ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset
manusia).[19]
Al-Attas membuat skema
yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada
dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah pemberian Allah (God Given)
dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu
capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah.
Menurut al-Attas, bahwa
akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang
ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi rohaniyah yang menjadikan
manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia
mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi
pusat jantung diri manusia.[20]
Oleh karena itu, dalam
sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardlu
ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga
pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas
merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi
kandungannya harus di dahulukan. Seperti yang dijelaskan al-Attas bahwa ruang
lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan
sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara
berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas
mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi
kandungannya harus didahulukan.[21]
F.
Klasifikasi Ilmu menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
Al-Attas mengklasifikaskan
ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional,
intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Qur’an;
(pembacaan dan penafsirannya). As-Sunnah; (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan
para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya). Asy-Syari’ah;
(Undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam,
iman ihsan). Teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta
tindakan-tindakan-Nya). Tasawuf (Psikologi, kosmologi, dan antologi), dan ilmu
bahasa atau linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan
kesusatraan).[22]
Sedangkan yang termasuk
ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan
ilmu-ilmu terapan. Menururt al-Attas, bagian yang termasuk ilmu kemanusian
seharusnya ditambah dengan pengetahuan Islam. Karena semua disiplin ilmu
harus bertolak kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar
pengetahuan tersebut ditambahkan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan
hal berikut ini:
1. Perbandingan
agama dari sudut Islam
2. Kebudayaan
dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di
masa datang berbenturan dengan Islam.
3. Ilmu-ilmu
linguistik; bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, dan literatur.
4. Sejarah
Islam; pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah
Islam, filsafat-filsafat sains Islam, Islam sebagai sejarah dunia.[23]
G. Karya-Karya Syed Muhammad Naquib al-Attas
Untuk mengenali karya al-Attas, kita dapat
melihat dari dua bagian, yakni karya-karya kesarjanaan (scholarly writing)
dan karya-karya pemikiran. Yang pertama lebih menggambarkan dia
sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar). Ini terutama dapat dilihat
dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu dan Nusantara,
khususnya mengenai mistisisme. Sementara yang kedua menggambarkan dia sebagai
pemikir. Berikut ini karya-karya yang berkaitan dengan bagian pertama:
1. Rangkaian
Rubui’iyat, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1959.
2. Some
Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the Malays, MSRI,
Singapore, 1963.
3. Raniri
and the Wujudiyah of 17th Century Acheh, Mograph of the Royal
Asitic Society, Malaysian Branch, No. 111, Singapore, 1966.
4. The
Origin of the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur ,1968.
5. Preleminary
Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia
Archipelago, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1969.
6. The
Mysticism of Hamzah Fansuri, Universitas Malaya Press, Kuala Lumpur, 1969.
7. Conluding
Postcrip to the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur,
1971.[24]
Sedangkan karya yang berkenaan dengan
gagasan/pemikiran banyak berbicara tentang konsep, terutama konsep pendidikan,
filsafat dan islamisasi ilmu. Berikut ini karya-karya yang termasuk bagian
kedua:
1. Islam:
The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality, ABIM,
Kuala Lumpur, 1976.
2. Preliminary
Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education,
PMIM, Kuala Lumpur, 1977.
3. Islam
and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
4. Islam,
Secularism, and Philosophy of the Nature, 1985.
5. Dilema
Kaum Muslimin, Bina ILmu, Surabaya, tt.
6. The
Concept of Education in Islam:A framework for a Islamic Philosophy of
Education, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
7. Aims
and Objectives of Islamic Education, Hodder-Stoughton, London and
University of King Abdul Aziz, Jeddah, 1979.
8. Islam
and the Filsafat Sain, Penerjemah: Saiful Muzani, Mizan, Bandung,
1995.[25]
Melalui dua macam karya di atas, al-Attas
terlihat jelas dalam program-program kerja jangka panjang Institut Pemikiran
dan Tamaddun Islam yang dipimpinnya, yang menurut hemat penulis adalah suatu
bentuk pelembagaan dari obsesi dan cita-cita intelektualnya.
H.
Aktualisasi
Konsep Al-Attas dalam Pendidikan Islam Masa Kini
Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif
dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya,
maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta’dib yang
ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi
serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan
dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia
merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikotomi ilmu
pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan
religius.
Secara
ilmiah al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi
sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang
naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam
menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan
filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis
maupun aksiologis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang pasti memiliki
kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma pendidikan Islam yang
diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang digagasnya merupakan suatu
komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran
teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal
tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan
disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler.
Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan
operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang
dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia pendidikan Islam
merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk
ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan
refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama
sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
B.
Saran
Entah bagaimana tanggapan
masyarakat luas tentang suatu pemikiran, sudah selayaknya kita menghargai buah
pikiran tersebut, menerapkan sisi positif dan meninggalkan sisi negatif yang
terkandung di dalamnya.
Sebagai warga muslim yang tidak mau
agamanya terpuruk dalam kenestapaan, sudah seharusnya kita melakukan
perubahan-perubahan revolusioner demi
tercapainya tujuan Islam sebagai agama yang fleksibel di sepanjang zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, S.M.N. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. 1990.
Bandung: Mizan.
Attas,
S.M.N. Islam dan Filsafat Sains. 1995. terj. Saiful Muzani. Bandung:
Mizan.
Al-Attas, S.M.N. The
Concept of Education in Islam: A
trainetwork for an Islamic Philosophy of Education. 1980. Kuala Lumpur:
ABIM.
Al-Attas, S.M.N. Islam:
The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality. 1978. London: Islamic Council of Europe.
Al-Attas, S.M.N. The Mysticism of Hamzah Fansuri. 1969.Universitas
Malaya Press: Kuala Lumpur.
Al-Faruqi, Raji. Islamization of Knowledge: Problems.
Principles and Perspectives. 1998. Virginia: HIT.
Al-Syaibany,
Al-Thoumy Oemar M. Falsafah Pendidikan Islam. 1979. Alih
bahasa Hasan Langgulung. Bulan Bintang: Jakarta.
Ambary. Hasan Muarif et,. 1995. Suplemen Ensiklopedi Islam.
Jilid 2. Jakarta:PT Ichtiar van Houve.
Bruinessen, Martin van. 1996. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung:
Mizan.
Nasution, Harun. Islam Paradigma Ilmu Pendidikan. 1992. Aditya Media: Yogyakarta.
Muhaimain.
1991. Konsepsi
Pendidikan Islam. Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum. Ramadhani:
Solo.
Muhadjir,
Noeng. Ilmu
Pendidikan dan Perubahan Sosial: suatu teori pendidikan. 1989. Rake Sarasin: Yogyakarta.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab
Indonesia. 1990. Jakarta: Hidakarya Agung.
[1] Hasan Muarif Ambary, et., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid
2. (Jakarta:PT Ichtiar van Houve, 1995), hlm. 78.
[2] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1996), hlm.179.
[3] Hasan Mu’arif
Ambary, et.al,. loc. cit.
[4] S.M.N. al
Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan,
1990), hlm. 68-69.
[5] Syed NaquibAl-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Universitas Malaya Press,
Kuala Lumpur, 1969) , hlm.11.
[6]
Hasan Mu’arif
Ambary, loc. cit.
[7] Harun Nasution, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, (Aditya
Media, cet.I, Yogyakarta, 1992), hlm. 130
[8] Ibid.
[9] Muhaimain,
1991, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah
Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo. 72-73
[10] Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 262
[11]
S.M.N. Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 94-95.
[12] Ibid.
[13]
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: suatu
teori pendidikan, (Rake
sarasin, Yogyakarta, 198), hlm. 79.
[14]
S.M.N. Al-Attas,
Islam, op. cit.,
[15]
Ibid.
[16] Islamisasi
Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: Problems, Principles and
Perspectives, (Virginia: HIT, 1998), hlm. 30
[17] S.M.N al-Attas, The Concept of Education
in Islam: A trainetwork for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala
Lumpur: ABIM, 1980), hlm. 39.
[18]
S.M.N al-Attas,
Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, (London:
Islamic Council of Europe, 1978),hlm. 34.
[19]
S.M.N al-Attas,
The Concept,,, loc. cit., hlm. 35.
[20]
S.M.N al-Attas,
Islam,,, loc, cit., hlm. 45
[21]
.M.N al-Attas, The
Concept,,, loc. cit., hlm. 39
[22] M.N al-Attas, The
Concept,,, loc. cit., hlm. 45.
[23]
S.M.N. Al-Attas, Islam, op. cit., hlm. 59.
[24] Oemar M. Al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, Alih bahasa Hasan Langgulung, (Bulan Bintang,
Jakarta. 1979), hlm. 89.
[25] Ibid, hlm. 90
0 comments:
Post a Comment