BAB II
PEMBAHASAN
Hadits I
عن سهيل
عن عطاء بن يزيد عن تميم الداري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْناَ لِمَنْ قاَلَ ِللهِ
وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
(رواه مسلم)
Dari Suhail
dari ‘Atha’ bin Yazid dari Tamim Al-Dari bahwasanya Nabi SAW. pernah bersabda:
Agama itu nasehat. Kami berkata bagi siapa ? Nabi menjawab : “Bagi Allah,
kitab-kitabNya, rasulNya dan pemimpin umat Islam serta umat Islam seluruhnya.
(Muslim)[1]
Makna
Mufradat
· الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ: pondasi dan tiang agama adalah nasehat.
· النَّصِيْحَةُ: nasehat, secara bahasa bermakna tulus atau
murni. Kata ini kemudian menjadi istilah yang bermakna: setiap kata yang
diucapkan atau diredaksikan dengan maksud baik kepada orang yang dinasehati.
· للهِ: Tuhan Maha Suci dari nasehat manusia. Oleh
karena itu, menurut Khaththabi hakekat nasehat kepada Allah kembali kepada
manusianya sendiri, dan maknanya berpaling. Nasehat kepada Allah berarti
mengimaniNya dengan tulus, tidak menyekutkanNya, menyifatiNya dengan Maha
Kesempurnaan dan Maha Tinggi, menjalankan semua perintahNya, serta tidak
bermaksiat.
· وَلِكِتاَبِهِ: “dan nasehat kepada kita-kitabNya” yaitu
semua kitab yang diturunkan Allah swt. dengan membenarkan berita-beritanya,
membelanya, serta mendakwahkannya.
· وَلِرَسُوْلِهِ: “dan nasehat kepada rasulNya” dengan
cara mengimani risalahnya, jujur dalam mengikuti beliau, melaksanakan
syari’atnya serta menjauhi larangannya.
· وَلأَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِيْنَ : “dan nasehat kepada para
pemimpin muslim” dengan cara mentaati dalam kebenaran serta total dalam
loyalitas.
· وَعَامَّتِهِمْ: “dan nasehat kepada umat muslim secara
keseluruhan” dengan cara membimbing untuk kemaslahatan dunia dan akhirat,
mendatangkan kebaikan untuk mereka, menolong mereka, menjaga mereka dari
marabahaya serta amar ma’ruf nahi mungkar.
Hadits II
عَنْ
جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ
لِكُلِّ مُسْلِم (رواه مسلم)
Dari Jariri ia berkata: aku pernah berbai’at kepada Rasulullah SAW.
untuk mendirikan shalat, membayar zakat dan menasehati setiap muslim. (Muslim)[2]
Makna Mufradat
·
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: pada riwayat ini Jarir menceritakan proses
bai’atnya kepada rasul dengan menyebutkan tiga hal. Apabila diteliti, redaksi
dan penyebutan hal yang dibai’atkan kepada nabi saw. berbeda dari masing-masing
sahabat, hal ini menurut para ulama dikarenakan tidak terdapat redaksi khusus
yang ditentukan syara’, oleh karenanya tergantung situasi dan hal yang perlu
ditekankan oleh masing-masing sahabat tersebut.
·
وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ: menasehati setiap muslim baik yang dekat
maupun yang jauh serta laki-laki ataupun perempuan.
A.
Pengertian Nasehat
Ibnu Manzur menjelaskan bahwa secara etimologi
nasehat diambil dari kata “an-nashihah.” Kata an-nashihah berasal dari kata an-nushhu yang memiliki
beberapa pengertian:
1. Al-Khulush
berarti murni, seperti dalam kalimat : alkhaalisu minal ‘asali ‘Madu
yang murni’.[3]
Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat
adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin.[4]
2. ‘al-Khiyathah/al-Khaith’ berarti ‘menjahit/ menyulam dengan
jarum’.[5]
Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan
kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang
menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan layak
dipakai.[6]
Adapun menurut istilah
syar’i, Ibnu Al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang
mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan)
kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan
hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain.”[7]
Hal tersebut di atas,
semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata,
“Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti
mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasehati. Ia
merupakan sebuah kata yang ringkas, namun luas maknanya. Tidak ada satu kata
pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata nasehat ini,
kecuali bila digabung dengan kata lain.”[8]
Sedangkan menurut Abu Bakar Abdul Qahir ibnu Abdurrahman
Al-Jurjan, beliau menyatakan bahwa nasehat adalah mengajak orang lain untuk
melaksanakan sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan melarang mengerjakan sesuatu
yang mengandung kerusakan.
B.
Macam-macam
Nasehat
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim tentang nasehat; yaitu “Agama (Islam) itu adalah
nasehat”, maka dapat diambil kesimpulan bahwa agama dan nasehat
sifatnya korelatif. Dalam hal ini, ada dua pendapat. Pertama, Khaththabi
berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah
nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat”. Kedua, Ibnu
Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) bermakna mubalaghah (melebihkan
suatu perkara). Maksudnya bahwa sebagian besar agama ini isinya adalah nasehat.
Hal ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah’.
Bisa jadi pula bermakna
sebagaimana lahirnya lafal tersebut, yakni tidak lain agama ini adalah nasehat,
karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu
bukan termasuk bagian agama.”[9]
Macam-macam
nasehat dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Nasehat bagi Allah
Yang dimaksud dengan nasehat bagi Allah ini, yaitu beriman kepada-Nya
semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun,
meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap
sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran,
mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat
kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada
orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya,
memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala
nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan
manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut
terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah
sebenarnya kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan
nasehat manusia”. [10]
2. Nasehat bagi Kitab
Allah
Yang dimaksud dengan nasehat bagi kitab Allah, yaitu mengimani bahwa kitab
Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya
yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang
makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya, mengagungkannya, membacanya
dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan,
khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar, membelanya dari
penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang
mencelanya, membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap
ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya, dan mengambil
ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya, mengamalkan ayat-ayat
yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati)
ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit), yakni bahwa semuanya dari Allah, meneliti
mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus, mana yang nasikh (yang
menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang dihapus
hukumnya), menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia untuk
berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat
bagi Kitabullah.[11]
3. Nasehat bagi Rasulullah
Yang dimaksud dengan nasehat bagi Rasulullah, yaitu membenarkan
kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan
larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup
maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi
orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati
beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan
syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau
tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya,
menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan
mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika
membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang
memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan,
mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap
sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan
makna-makna lain yang semisalnya.[12]
4. Nasehat bagi Para
Imam/Pemimpin Kaum Muslimin
Yang dimaksud dengan nasehat dalam hal ini, yaitu membantu dan mentaati
mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri
di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka
ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka
ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar
mentaati mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam makna nasehat bagi
mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menyerahkan
shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak dan mengangkat pedang
(senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku zhalim maupun adil-,
tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan mendoakan kebaikan
untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan para imam adalah
para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum muslimin, dan
inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga ditafsirkan bahwa
yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat bagi mereka
berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum mereka (tentu
selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan) kepada mereka”.[13]
5. Nasehat bagi Kaum
Muslimin Umumnya
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak
menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka
ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun
perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat
mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka
melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh
kelembutan dan ketulusan, mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi
yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah
hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai
kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk
diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya
baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku
dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan
ketaatan dan sebagainya.[14]
C.
Adab-Adab dalam
Pemberian Nasehat
Dalam penyampaian nasehat, terdapat beberapa adab yang perlu
diperhatikan oleh seorang penasehat. Di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Menurut
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ialah dengan cara rahasia antara orang yang
mensehati dan yang dinasehati karena hal itu lebih membekas.
2.
Dalam
QS. An-Nahl: 125 terdapat beberapa macam metode dakwah yang dapat dikaitkan
dengan nasehat:
1.
Dengan
al-hikmah: yaitu memberi nasehat dengan kata-kata yang bijak
sesuai dengan tingkatan kepandaian mereka.
2.
Al-mau’izhah: yaitu uraian yang menyentuh hati yang mangantarkan kepada
kebaikan.
3.
Jidal:
memberi nasehat dengan cara dialog yang baik dan dengan sopan serta
menggunakan dalil-dalil yang diakui mereka. Tujuannya agar lawan debat menerima
kebenaran.
3.
Dalam
memberi nasehat terkadang nabi memberi nasehat dengan cara berkhutbah di
mimbar, namun beliau tidak pernah menyebutkan nama orang-orang yang dinasehati
khawatir justru mempermalukan mereka.
4.
Dalam
QS. Al-‘Ashr: 3 umat muslim diperintahkan untuk: pertama, saling
menasehati dalam kebenaran. Menurut para ulama yang dimaksud kebenaran itu
ialah saling mengingatkan tentang wujud, kuasa dan keesaan Allah swt. Kedua,
saling menasehati dalam kesabaran, yaitu menahan kehendak nafsu demi
mencapai sesuatu yang lebih baik.
5.
Meluruskan Niat sebelum Menasehati
Luruskan
niat sebelum menasehati seseorang supaya tidak ada yang merasa disakiti. Janganlah
menasehati seseorang itu karena ingin menunjukkan kitalah orang yang benar,
tetapi tegurlah karena ingin mengajak sahabat ke jalan yang benar.
6.
Ikhlas dalam Memberikan Nasehat
Ikhlaslah menasehati saudara semuslim
semata-mata karena Allah. Seharusnya seorang yang ingin memberikan nasehat itu perlulah
bersih dari segala bentuk niat yang bersifat pribadi karena ia akan memberi
kesan ke atas nasehat yang ingin diberikan.
Pemberi nasehat hanya mengharapkan ridha Allah
dan balasan di akhirat. Ia menyampaikan nasehat bukan karena ingin mendapatkan
keuntungan duniawi, riya (ingin dipuji orang lain) dan sum'ah (menceritakan
kebaikannya kepada orang lain).
7.
Berdasarkan Ilmu
Memberi nasehat dengan ilmu merupakan sebuah
keharusan dalam arti menguasai materi yang akan dinasehatkan. Tanpa didasari
ilmu, bisa jadi seseorang akan menasehati dengan hal-hal yang munkar dan justru
melarang yang makruf (baik).
8.
Menjaga Ukhuwah Semasa Menasehati
Diusahakan
supaya menasehati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Sebagian ulama
berkata,“Barangsiapa yang menasehati seseorang dan hanya ada mereka berdua,
maka itulah nasehat yang sebenarnya. Barangsiapa yang menasehati saudaranya di
depan banyak orang, maka yang demikian itu mencela dan mencelakan orang yang dinasehati.” Islam
mengajar umatnya supaya mempunyai akhlak yang tinggi. Dalam hal menasehati juga
terdapat perkara ini. Ini menunjukkan bahawa Islam amat menjaga hati dan maruah
orang yang dinasehati supaya tidak berlaku perpecahan karena perkara nasehat.
9.
Memberikan Nasehat dengan Tutur Kata yang Baik
Pemberi
nasehat wajib memiliki akhlak yang lemah lembut dan santun dalam menyampaikan nasehat.
Hal ini diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS saat
berdakwah kepada Fir’aun. ''Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun)
dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.'' (QS
Thaha:44).
Hendaknya
pemberi nasehat menggunakan bahasa yang halus dan menegur hanya untuk
perkara-perkara yang salah. Kadang-kadang kita sering menggunakan perkataan
yang sangat buruk untuk menyampaikan nasehat kita. Dalam ceramah-ceramah dan
kuliah-kuliah yang berbentuk menasehati, kita lebih gemar menyatakan bahwa
orang lain salah, seolah-olah mereka yang melakukan perkara tersebut sangat
jahat dan sudah tiada ruang untuk bertaubat. Seharusnya selaku seorang
pendakwah, nasehat adalah senjata utama yang perlu digunakan sebaik mungkin.
10.
Memikirkan Cara Terbaik untuk Menasehati
Saudara
Sebelum
memberikan nasehat, setidaknya kita mengenali terlebih dulu saudara yang akan kita
nasehati itu. Nasehatilah mereka dengan kasih sayang dan jadilah sebahagian
dari mereka, karena dari situ kita akan tahu apa puncanya mereka begitu.
Pemilihan cara yang tepat memegang peranan
penting dalam pemberian nasehat. Cara memberi nasehat berbeda-beda sesuai
dengan situasi, kondisi dan kepribadian seseorang. Dalam banyak keadaan,
manusia justru membutuhkan nasehat melalui keteladanan dari seorang
figur. Perlu diperhatikan juga bahwa menasehati anak-anak berbeda dengan
menasehati orang dewasa.
11.
Memberi Waktu dan Kesempatan
Beri
waktu dan kesempatan kepada saudara yang dinasehati untuk mengubah sifat buruk/
kesalahan yang dilakukannya. Manusia perlukan masa untuk berubah, jangan
memaksa mereka untuk berubah mendadak, ia bukan dalam lingkungan tugas seorang
pendakwah. Dalam berdakwah perlu akan sifat sabar dan berserah kepada Allah.
Jadilah orang yang sentiasa mengharap pertolongan Allah dan jangan mudah putus
asa atas nasehat yang diberikan, karena hal itu mungkin merupakan salah satu ujian
yang telah ditentukan oleh Allah untuk menguji kesabaran seseorang.
12.
Bersabar dalam Menerima Konsekuensi
Si pemberi nasehat harus bersabar bila orang
itu tidak bersedia menerima nasehatnya. Syekh Al-Mishiri, mengingatkan bahwa nasehat
yang paling utama adalah nasehat untuk diri sendiri. ''Dia harus menasehati
diri sendiri sebelum menasehati orang lain,'' tuturnya. Mereka yang menipu
dirinya sendiri, tidak bisa diharapkan dapat menasehati orang lain. Allah SWT
mencela orang-orang yang memerintahkan kebaikan kepada orang lain, namun dia
sendiri tidak melaksanakannya.
D.
Manfaat
Pemberian Nasehat
Terdapat banyak manfaat yang dapat diambil dari
pemberian nasehat, baik bagi pemberi nasehat maupun orang yang dinasehati. Manfaat-manfaat
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
A.
Manfaat Nasehat bagi Pemberi Nasehat
1.
Mendapat Pahala yang Berlipat Ganda dari Allah
Seseorang yang memberikan nasehat kepada orang
lain akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah swt. Hal ini
dikarenakan: pertama, ia telah menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya
dengan jalan menegur atau menasehati orang lain. Kedua, ia juga mendapatkan pahala dari orang yang
dinasehati apabila orang yang dinasehati melaksanakan nasehat yang disampaikan.
2.
Melatih Diri untuk Bersabar
Seseorang yang memberikan nasehat tidak lantas
memberikan nasehatnya begitu saja, akan tetapi seseorang penasehat harus mampu
mempersiapkan dirinya atas segala dampak yang ditimbulkan dari pemberian
nasehat tersebut. Seperti halnya apabila orang yang dinasehati tidak melakukan
apa yang dinasehatkan kepadanya, atau orang yang dinasehati malah berbalik
menghujat si penasehat karena orang dinasehati merasa benar dan tidak mau
melihat kesalahan dirinya.
3.
Menyebarkan syi’ar Islam
Termasuk manfaat yang terdapat dalam pemberian
nasehat yaitu tersebarnya syi’ar Islam yang dilakukan oleh orang yang
memberikan nasehat. Dengan demikian, orang yang memberikan nasehat baik secara
langsung maupun tidak langsung telah menjalankan perintah Allah berupa penyebaran
syi’ar-syi’ar Islam.
4.
Tolong
Menolong diantara Sesama Muslim
Dalam pemberian nasehat, terkandung sikap tolong-menolong
diantara sesama muslim. Dalam hal ini, Allah SWT memang menganjurkan umatNya
untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan. Hal ini termaktub dalam
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
5.
Meningkatkan Solidaritas (Silaturrahmi)
Saat seseorang tengah memberikan nasehat kepada
saudaranya, disadari atau tidak ia telah membangun solidaritas diantara sesamanya.
Dengan begitu satu sama lain diantara mereka nantinya akan dapat saling
menasehati apabila secara khilaf berbuat kesalahan. Betapa indahnya Islam
apabila setiap muslim dapat saling menasehati satu sama lain, selain ukhuwah
Islamiyah terjaga, mereka juga dapat menjaga kelestarian ajaran-ajaran Islam.
B. Manfaat Nasehat bagi Orang yang Dinasehati
1.
Bahan Evaluasi dan Retrospeksi
Nesehat bagi seseorang sangatlah penting
eksistensinya, yang mana nasehat tersebut bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi
diri (introspeksi) dan juga sebagai bahan retrospeksi, yakni memperbandingkan
dirinya dengan orang lain dan mengubah atau memperbaiki hal-hal yang kurang
benar yang terdapat dalam dirinya.
2.
Berupaya untuk Lapang Dada dalam Menerima
Nasehat
Seseorang yang sedang dinasehati oleh
saudaranya mau tidak mau harus berupaya untuk lapang dada dalam menerima segala
bentuk nasehat yang berikan. Seseorang yang memberikan nasehat tentunya
bertujuan untuk menjadikan dirinya sebagai orang yang lebih baik. Oleh karena
itu, dengan sikap lapang dada seseorang akan lebih mudah tergugah untuk
berupaya mengikuti nasehat yang diberikan.
3.
Berupaya untuk Menjadi Insan yang Lebih Baik
Tujuan inti dari pemberian nasehat tidak lain
adalah untuk menggugah seseorang mengintrospeksi dirinya, berupaya semaksimal
mungkin untuk tidak melakukan kesalahan yang pernah diperbuatnya dan menjadikan
dirinya sebagai insan yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada seorang pun
yang menginginkan saudaranya condong berubah menjadi seseorang yang lebih
buruk.[15]
Terkadang berat memang untuk melawan ego saat
seseorang tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan suatu kesalahan. Akan
tetapi, saat orang tersebut menyadari bahwa penilaian yang sejati tidak datang
dari dirinya, yakni orang lain yang berada di sekitarnya, maka orang tersebut
akan lebih mudah dalam menerima nasehat dari orang lain. Kesimpuan akhir yang
dapat dipetik, yaitu untuk apa mempertahankan ego pribadi jika yang akan didapat
nantinya hanyalah ke-stagnan-an diri. Oleh karena itu, penting sekali
substansinya untuk menerima nasehat orang lain demi memperbaiki kualitas diri.
[1] Syekh Al-Islam
Muhyi Ad-Dari, Riyadh As-Shalihin, Jilid 1, (Surabaya: Nurul Huda,
1949), hlm. 107.
[2]
Ibid.
[5] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul
Bari, Jilid 1, (Jakarta Selatan : Pustaka Azzam, 2002), hlm. 167.
[7] Ibnu
Rusyd Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid WA Nihayatul Muqtashid, Jilid 5,
(Mesir: Dar Al-Hadits, 1999), hlm. 62.
8
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001), hlm. 32-33.
[12]
Ibid.
[15]
Abu
Syahidah, Menjadi Remaja Paling Mulia,
(Jakarta Timur: Gen Mirqat, 2008), hlm. 106.
1 comments:
lucu bgt blog nya:(
Post a Comment