BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN KEMASYARAKATAN
A.
Silaturrahmi
ö@ygsù óOçFø|¡tã bÎ) ÷Läêø©9uqs? br& (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# (#þqãèÏeÜs)è?ur öNä3tB$ymör& ÇËËÈ y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßgoYyès9 ª!$# ö/àS£J|¹r'sù #yJôãr&ur öNèdt»|Áö/r& ÇËÌÈ
Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan
di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka Itulah orang-orang
yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya
penglihatan mereka. (QS. Muhammad : 22-23)
Keengganan dan kelesuan orang-orang yang
mengaku beriman untuk berperan dan menjalankan perintah Allah dan Rasululah
saw., menimbulkan kerugian dan bencana bukan saja bagi diri mereka tapi juga
masyarakat luas. Dari sini, ayat di atas mengecam mereka dalam bentuk
pertanyaan diiringi dengan ancaman. Allah berfirman: maka apakah kiranya
kamu wahai para munafik atau kaum lemah iman jika kamu berkuasa dan
menjadi tokoh-tokoh masyarakat, sedang kamu berpaling dari tuntunan Allah
dengan enggan bersabar dalam perjuangan, kamu akan senantiasa merusak
di muka bumi dengan melakukan pertumpahan darah, berlaku tidak adil, menerima suap dan
memutuskan secara amat tegas dan berkali-kali hubungan kekeluargaan kamu
? tentu saja hal itu buruk bagi kamu dan masyarakat seluruhnya, karena itu
Kami menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah yang terbaik
bagi semua pihak.[1]
Setelah menjelaskan dampak buruk dari
sikap orang-orang yang enggan berjuang dan memperkenankan tuntunan agama, Allah
berpaling dari mereka sebagai pertanda murkanya dan mengarahkan firman-Nya
kepada kaum mukminin dengan menyatakan
bahwa: mereka itulah yang sungguh jauh dari kebenaran dan kebajikan yang
merupakan orang-orang yang dikutuk Allah yakni dijauhkan dari perolehan
rahmat-Nya maka sebagai akibat dari kutukan itu Dia Yang Maha Kuasa itu menulikan telinga
mereka dan membukakan pandangan mata
hati mereka sehingga mereka tidak mampu mendengar petunjuk dan
tidak pula berhasil menemukan jalan kebahagiaan.
Ada juga ulama yang memahami kata tawallaitum
dalam arti berpaling dari tuntunan Allah. Thahir Ibnu Asyur menulis
bahwa kaum munafik enggan berperang dengan alasan: “Mengapa kita harus membunuh
keluarga kita sendiri?” Ayat ini mengecam mereka dengan mengatakan bahwa:
“Kemungkinan besar jika kamu berpaling dari tuntunan Al-Qur’an kamu akan
melakukan perusakan di bumi dan memutuskan hubungan silaturrahim walau kamu
menyatakan bahwa berpaling dan keengganan kamu berperang itu adalah demi
memelihara keluarga kamu.”[2]
Ayat di atas menjatuhkan kutukan kepada
mereka yang melakukan peruskan di bumi serta memutuskan hubungan silaturrahmi,
suka menjadikan keduanya sebagai ciri orang-orang kafir/munafik. Seorang mukmin
pastilah selalu berupaya menghindari kedua jenis kedurhakaan tersebut.
Al-Qurthubi mengatakan bahwa rahim yang perlu disambung ada dua macam. Rahim
khusus, yakni hubungan kekeluargaaan yang berpangkal dari ayah dan ibu
seseorang. Dan yang kedua bersifat umum,
yakni hubungan yang terjalin atas dasar persamaan agama, ini pun tidak boleh
diputuskan. Ini menuntut jalinan kasih sayang, bantu-membantu,
nasihat-menasihati, serta menjauhkan gangguan kepada mereka pendapat ulama ini
masih dapat diperluas dengan rahim kemanusiaan, tanpa mempertmbangkan
suku dan agama atau kepercayaan, karena kita semua berasal dari satu keturunan
yang sama, yakni keturunan Nabi Adam dan Hawa as. Hubungan antara sesama
manusia berdasarkan kemanusiaan harus tetap dijalin tanpa ganggu mengganggu.
Karena Allah tidak melarang seorang muslim berbuat baik, berlaku adil bahkan
memberikan sebagian hartanya sekemanusiaan, walau mereka berbeda agama.
Ayat di atas menyebutkan pandangan sebagai
yang dibutakan sedang dalam menulikan tidak disebutkan telinga.
Ini karena sesuatu yang dijadikan tuli hanya telinga semata, berbeda dengan
pembutaan. Ia bisa merupakan mata kepala dan
mata hati untuk menjelaskan bahwa yang dibutakan adalah mata hati, maka
disebutlah secara tegas al-abshar. Sementara ulama memahami kalimat
membutakan pandangan pada ayat ini dalam arti tidak memahami tuntunan
atau menyadari kebenaran, karena seseorang yang buta berada dalam kebimbabangan menyangkut sekelilingnya. Ia
tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan
berbahaya ke cuali dengan bantuan pihak lain.[3]
B. Pentingnya Persatuan
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? wur ¨ûèòqèÿsC wÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÉËÈ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam Keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran: 102)
Untuk menjamin tidak terulangnya peristiwa di atas serta
membentengi kaum muslim dari makar dan tipu daya lawan, maka orang-orang
beriman diberi petunjuk oleh lanjutan ayat di atas, yakni firman-Nya: Bertakwalah
kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; jauhi seluruh larangan-Nya
dan ikuti seluruh perintah-Nya sampai pada
batas akhir kemampuan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu mati
malainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah, yakni memeluk agama
Islam.
Sementara sahabat Nabi saw. memahami arti haqqa tuqatih dalam
arti mentaati Allah dan tidak sekalipun durhaka, mengingat-Nya dan tidak sesaat
pun lupa, serta mensyukuri nikmat-Nya dan tidak satu pun mengingkari, demikian
penafsiran sahabat Nabi saw., Abdullah bin Mas’ud.[4]
Memang, jika memperhatikan redaksi sebenar-benar takwa-Nya,
terkesan bahwa ketakwaan yang dituntut itu adalah yang sesuai dengan kebesaran,
keagungan, dan anugerah Allah swt. Di sisi lain, sunnatullah serta hukum moral
menunjukkan dan menuntut kita untuk memberi sebanyak yang kita ambil. Lebih
memberi madu sebanyak dan sesuai dengan sari kembang yang dihisapnya. Bulan
memancarkan cahaya sebanyak dan sesuai dengan posisinya terhadap matahari.
Manusia terhadap Allah pun harus demikian. Sebanyak nikmat-Nya, sebanyak itu
pula seharusnya pengabdiannya. Untung bahwa Allah swt menerima yang sedikit
dari manusia sehingga ayat yang tadinya dipahami seperti pemahaman Abdullah bin
Mas’ud di atas dibatalkan menurut sebagian ulama atau yang lebih tepat
dijelaskan oleh firman-Nya dalam QS. At-Thaghabun ayat 16, “ Maka bertakwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan
nafkahkanlah nafkah yang baik bagi dirimu.”[5]
Ayat Ali Imran ini menjelaskan batas akhir dari dan puncak takwa
yang sebenarnya, sedangkan ayat at-Taghabun berpesan agar tidak meninggalkan takwa sedikitpun, karena
pasti setiap orang memiliki kemampuan untuk bertakwa, dan tentu saja kemampuan tersebut
bertingkat-tingkat. Yang penting, bertakwalah sesuai kemampuan, sehingga jika
puncak dari takwa yang dijelaskan di atas dapat diraih, maka itulah yang
didambakan, tetapi bila tidak, maka Allah tidak membebani seseorang melebihi
kemampuannya. Dengan demikian, melalui ayat Ali Imran ini semua dianjurkan
untuk berjalan pada jalan takwa, semua diperintahkan berupaya menuju puncak,
dan masing-masing selama berada di jalan itu akan memperoleh anugerah sesuai
hasil usahanya masing-masing. Ayat Ali Imran ini adalah arah yang
dituju, sedang at-Thagabun adalah jalan yang ditempuh menuju jalan itu.
Dengan demikian, kedua ayat tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi.
Ketika menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 32 yang mengemukakan wasiat
Nabi Ibrahim dan Ya’kub as. kepada putera-puterinya seperti bunyi nasehat di
atas: janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri
(kepada Allah), penulis kemukakan bahwa pesan ini berarti jangan sesaatpun
meninggalkan agama Islam, karena dengan demikian, saat apapun kematian datang
kepada kita, kita semua tetap menganutnya. Kematian tidak dapat diduga
kedatangannya. Jika kita melepaskan ajaran ini dalam salah satu detik di hidup
kita, maka jangan sampai pada detik itu kamatian datang merenggut nyawa kita,
sehingga kita mati tidak dalam keadaan berserah diri. Karena itu, jangan sampai
ada saat dalam hidup kita yang tidak disertai oleh ajaran Islam.
Firman Allah swt. selanjutnya berbunyi:
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)
Pesan ayat yang sebelumnya untuk bertakwa sebenar-benar takwa dan
tidak mati kecuali dalam keadaan berserah diri ;kepada Allah swt., dilengkapi
oleh ayat di atas dengan petunjuk meraihnya serta bimbingan menghindar dari
kesalahan, apalagi tentu saja ada di antara kamu muslim yang boleh jadi
semangatnya luntur atau pandangannya kabur dapat juga dikatakan bahwa pesan
yang lalu ditunjukkan kepada setiap muslim orang perorang, pribadi demi
pribadi, sedang pesan serupa disini ditujukan kepada kaum muslim secara kolektif
atau bersama-sama sebagaimana terbaca dalam kata jami’an yang berarti
semua dan firman-Nya wala tafarraqu dan
janganlah bercerai-berai.
Pesan yang dimaksud adalah: berpegang teguhlah, yakni
upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu sama lain dengan tuntunan
Allah sambil menegakkan disiplin kamu semua tanpa kecuali. Sehingga
kalau ada yang lupa, ingatkan ia, atau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit
agar semua dapat begantung kepada tali (agama) Allah. Kalau kamu lengah
atau ada salah seorang yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan
disiplin akan rusak, oleh karena itu, bersatu padulah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Bandingkanlah
keadaan kamu sejak datangnya Islam dengan ketika kamu dahulu pada masa
Jahiliyah bermusuh-musuhan, yang ditandai dengan peperangan yang
berlanjut sekian lama, generasi ke
generasi, maka Allah mempersatukan hati kamu pada satu jalan dan arah
yang sama lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, yaitu dengan agama
Islam, orang-orang yang bersaudara; sehingga kini tidak ada lagi bekas
luka di hati kamu masing-masing. Penyebutan nikmat ini merupakan argumentasi
keharusan memelihara persatuan dan kesatuan- argumentasi- yang berdasar
pengalaman mereka.[6]
Itulah nikmat duniawi yang kamu peroleh dan yang telah kamu alami,
dan diakhirat nanti kamu akan memperoleh juga nikmat, karena ketika kamu
bermusuh-musuhan sebenarnya kamu telah berada di tepi jurang api (neraka),
sebab kamu hidup tanpa bimbingan wahyu, lalu dengan kedatangan Islam
Allah menyelamatkan kamu darinya, yakni seperti penjelasan-penjelasan di
atas, Allah terus menerus menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
kamu, agar kamu mendapat petunjuk secara terus menerus pula. Memang
petunjuk Allah tidak ada batasnya. “Allah
akan menambah petunjuk-Nya bagi orang-orang yang telah memperoleh
petunjuk.” (QS. Maryam:76). Dalil yang dikemukakan kali ini bukan dalil
pengalaman, tetapi lebih kepada dalil logika.
Firman Allah “Dan janganlah bercerai-berai.” Allah menyuruh mereka
bersatu dan melarang mereka bercerai-berai. Berkaitan dengan hal ini, banyak
hadits yang disampaikan, seperti hadits yang yang terdapat dalam Shahih
Muslim yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyukai dari kamu tiga perkara dan membencimu
dalam tiga perkara. Dia ridha padamu jika kamu menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun, agar kamu semua berpegang teguh kepada tali
Allah dan tidak bercerai-berai, dan agar kamu setia pada orang yang telah
diserahi urusanmu oleh Allah. Allah murka kepadamu lantaran tiga perkara:
banyak berbicara, banyak bertanya, dan menghamburkan harta.” (HR. Muslim)[7]
Mereka dijamin oleh ayat tersebut dengan perlindungan dari
kesalahan dan berhentinya perselisihan dan ikhtilaf jika mereka bersatu.
Sesungguhnya hal itu telah melanda umat ini. Mereka bercerai berai menjadi 73
kelompok. Di antara ke-73 kelompok tersebut, hanya terdapat satu kelompok yang
selamat dan masuk surga serta diselamatan dari azab neraka. Mereka adalah
orang-orang yang berpegang teguh kepada apa yang dijalani oleh Nabi saw. dan
para sahabatnya.
Firman Allah Ta’ala, “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
karena nikmat Allah orang-orang bersaudara.” Konteks ayat ini berkaitan dengan
kaum Aus dan Khazraj. Pada masa Jahiliyah terjadi perang yang panjang di antara
mereka. Setelah mereka masuk Islam, mereka menjadi bersaudara dan saling
mencintai berkat keagugan Allah; mereka bersatu dalam zat-Nya dan tolong
menolong satu sama lain dalam kebajikan dan takwa.
Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang memperkuatmu dengan
pertolongan-Nya dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). Walaupun kamu telah membelanjakan semua (kekayaan)
yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka,
sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Anfal: 62-63). Mereka
berada di bibir jurang neraka, lalu Allah meyelamatkan mereka darinya dengan
menunjukkan kepada mereka keimanan.
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan masalah kaum Aus dan Khazraj,
yaitu ketika seorang Yahudi lewat dekat segerombolan suku Aus dan Khazraj.
Kerukunan dan keharmonisan mereka membuat si Yahudi mengutus seseorang yang
bersamanya dan menyuruhnya duduk bersama mereka. Orang itu menceritakan kepada
mereka peperangan yang dulu mereka lakukan pada waktu ekspedisi dan peperangan
tersebut sehingga terjadilah perang itu. Orang itu terus menceritakan sehingga nafsu
mereka mendidih, golongan yang satu marah kepada yang lain, berkobar,
meneriakkan slogan-slogan, meminta senjatanya, dan berjanji untuk menuju tanah
lapang. Kemudian hal itu sampai kepada Nabi saw. Maka, beliau menemui dan
menenangkan mereka dengan mengatakan “Kalian hendak menciptakan kejahiliyahan
ketika aku masih berada di tengah-tengah kalian.” Beliau membacakan ayat itu
kepada mereka. Maka mereka menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan,
kemudian berdamai, saling berpelukan, dan mencampakkan senjata. Allah ridha
terhadap mereka.[8]
C. Larangan Berburuk
Sangka dan Dengki
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
(QS. An-Nahl: 90)
Dalam ayat ini Allah swt berfirman sambil
mengukuhkan dan menunjukkan langsung diri-Nya dengan nama yang teragung guna
menekankan pentingnya pesan-pesan-Nya bahwa: Sesungguhnya Allah secara
terus menerus memerintahkan kepada
siapa pun di antara hamba-hamba-Nya
untuk berlaku adil dalam sikap, ucapan dan tindakan, walau terhadap diri
sendiri dan menganjurkan berbuat ihsan yakni yang lebih utama
terhadap diri sendiri dan menganjurkan berbuat ihsan yang lebih
utama dari keadilan, dan juga pemberian apapun yang dibutuhkan dan
sepanjang kemampuan lagi dengan tulus kepada kaum kerabat, dan Dia yakni
Allah melarang segala macam dosa, lebih-lebih perbuatan keji yang amat
dicela oleh agama dan akal sehat seperti zina dan homoseksual; demikian juga kemungkaran
yakni hal-hal yang bertentangan dengan adat istiadat yang sesuai dengan
nilai-nilai agama dan melarang juga penganiayaan yakni segala
sesuatu yang dinilai melampaui batas kewajaran. Dengan perintah dan larangan
ini Dia memberi pengajaran dan bimbingan kepada kamu semua,
menyangkut segala aspek kebajikan agar kamu dapat selalu ingat dan
mengambil pelajaran yang berharga.[9]
Disebutkan pada kata adl yang
menjadi penopang setiap individu, masyarakat dan bangsa sebagai kaidah yang
baku dalam kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari.sifat adl ini
sedikitpun tidak boleh dirasuki oleh syahwat dan tidak terpengaruh oleh belas
kasihan dan rasa benci, tidak akan tertukar denga keturunan dan nasab, status
kaya atau miskin, kuat atau lemah. Akan tetapi, semua berjalan di atas relnya
berdasarkan suatu neraca untuk semuanya dan ditimbang dengan suatu timbangan
yang satu pula untuk semua lapisan.[10]
Beberapa pakar mendefinisikan adil
dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantarkan
kepada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama.
Ada juga yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik
hak-haknya, melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang
memberikan hak kepada pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan
tanpa menunda-nunda. “Penundaan hutang dati seseorang yang mampu membayar
hutangnya adalah penganiayaan.” Demikian sabda Nabi saw. Ada lagi yang berkata adilI
adalah moderasi: “tidak mengurangi dan tidak juga melebihkan”, dan masih
banyak rumusan yang lain.[11]
Manusia dituntut untuk menegakkan
keadilan walau terhadap keluarga, ibu, bapak dan dirinya sendiri, bahkan
terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri
sendiri dengan jalan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus
mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan
akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni
tidak menempatkan sesuatu pada tempat yang wajar.
Jangan duga –tulis al-Ghazali- bahwa
penganiayaan (lawan dari keadilan) adalah gangguan, dan keadilah adalah memberi
manfaat kepada manusia. Bukan seperti itu sebenarnya. Bahkan seandainya seorang
penguasa membuka dan membagi-bagikan isi gudang yang penuh dengan senjata, buku
dan harta benda, kemudian dia membagikan senjata kepada ulama, harta benda
kepada hartawan, dan buku-buku kepada tentara yang siap berperang, maka walau
sang penguasa memberikan manfaat kepada mereka, namun dalam hal ini diai tidak
dinilai berlaku adil, bahkan dia dinilai menyimpang dari keadilan, karena dia
menempatkan pemberian-permberiannya itu bukan pada tempat yang semestinya.
Kata adl digandeng dengan kata al-ihsan
yang melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Sehingga membiarkan
pintu-pintu terbuka lebar menuju keadilan bagi siapa saja yang ingin ber-tasamuh
(toleransi) dalam sebagian haknya demi mengutamakan kasih sayang hati nurani
dan sebagai penyembuh kedengkian jiwa.
Kata al-ihsan lebih luas maknanya
secara madlulan (penunjukan). Setiap amal perbuatan yang baik dan ihsan,
memerintah manusia untuk berbuat yang ihsan, semua hal tersebut mencakup
setiap amal dan setiap muamalah (sistem sosial).
Kata al-ihsan menurut ar-Raghib
al-Ashfahani digunakan untuk dua hal; pertama, memberi nikmat kepada pihak
lain, dan kedua, perbuatan baik. Oleh karena
itu, kata ihsan lebih luas maknanya dari sekedar memberi nikmat atau
nafkah”. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna
“adil”, karena adil adalah “memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya
terhadap anda.” Adil adalah mengambil semua hak dan atau memberi semua hak
kepada orang lain, sedangkan ihsan adalah memberi lebih banyak dari pada
yang harus diberikan dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya diambil.[12]
Kata ihsan menurut al-Harrali
sebagaimana dikutip al-Biqa’i adalah puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap
hamba, sifat perilaku ini tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri
orang lain sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk
dirinya; sedangkan ihsan antara hamba dengan Allah adalah leburnya
dirinya sehingga dia hanya melihat Allah swt. Karena itu pula ihsan
antara hamba dengan sesama manusia adalah bahwa dia tida melihat lagi dirinya
dan hanya melihat orang itu. Siapa yang
melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada
saat beribadah kepada Allah, maka dia itulah yang dinamakan muhsin, dan
ketika itu, dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.[13]
Hakikat manusia di atas, sejalan dengan penjelasan Rasul saw. kepada malaikat
Jibril as. Ketika beliau ditanya olehnya- dalam rangka mengajar kaum muslimin.
Rasul saw. menjelaskan bahwa ihsan adalah “Menyembah Allah, seakan
engkau melihat-Nya dan bila engkau tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa Dia
melihatmu.” Dengan demiian, perintah ihsan bermakna perintah
melaksanakan segala aktifitas positif dan seakan-akan kita melihat Allah atau
paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan
pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik
mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap
kita, bukan sekedar memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap
kita.
Di sinilah kata ihsan
meliputi sudut-sudut kehidupan dari segi
hubungan hamba dengan keluarganya, hubungannya dengan masyarakat, dan
hubungannya secara kemanusiaan dalam lingkup yang sangat luas.
Kemudian dikonkritkan bahwa sebagian dari
perbuatan ihsan tersebut adalah itaidzil qurba, yang berarti
memberi kepada kaum kerabat. Penampakan perintah disini semata-mata hanyalah
untuk ta’ziman (pengagungan) dan taukid (penegasan) terhadap
perbauatan baik tersebut. Perbuatan baik ini dibangun bukan atas dasar ashobiyyah
(fanatisme golongan) terhadap keluarga, akan tetapi dibangun di atas
prinsip takaful (saling menopang) yang dilakukan secara tadaruj
(bertahap) oleh Islam dari skup mikro ke skrup makro sesuai dengan teori
sistemnya terhadap prinsip takaful ini.[14]
Kata ita’/pemberian mengandung
makna-makna yang sangat dalam. Menurut pakar bahasa Al-Qur’an, ar-Raghib
al-Ashfahani, kata ini pada mulanya berarti “kedatangan dengan mudah”. Al-Fairuzabadi
dalam kamusnya menjelaskan sekian banyak artinya, antara lain, istiqamah (bersikap
jujur dan konsisten), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan
jalan, mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain. Dari
makna tersebut, dapat dipahami apa sebenarnya yang dikandung oleh perintah in
dan apa yang seharusnya dilakukan oleh sang pemberi, serta sebagaimana
seyogyanya sikap kejiwaanya ketika memberi. Dapat juga ditambahkan bahwa
az-Zarkasyi dalam bukunya al-Burhan mengutip pendapat al-Juwaini yang menyatakan bahwa
kata atu tidak dapat diungkapkan dampak dan akibatnya dengan menggunakan
akar katanya, atau dengan istilah tata bahasa, ia tidak memiliki muthawa’ah,
berbeda dengan kata a’tha yang juga berarti memberi. Hal ini
memberi kesan bahwa sesuatu yang dampak dan ganjarannya tidak terlukiskan
karena ia dinilai Allah sebagai sesuatu yang agung.[15]
Memang, kalau kita membuka lembaran al-Qur’an maka akan ditemukan pemberian yang diinformasikan dengan menggunakan kata
kerja ata- yu’ti, yang mana kata ita’ merupakan bentuk mashdar
(kata jadian) dari kata kerja tersebut. Kita akan temukan permberian
Allah swt. Dalam berbagai bentuk yang merupakan hal-hal yang mulia, seperti misalnya
pemberian kerajaan, pemberian hikmah, dan lain sebagainya.
Sebenarnya pemberian kepada sanak
keluarga telah dicakup dalam dua hal yang disebut sebelumnya, yaitu adil dan
ihsan. Tetapi, agaknya hal ini agak ditekankan disini, karena sebagian
orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi bantuan kepada orang
lain yang bukan keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud tertentu di balik
pemberian itu, seperti popularitas dan pujian. Perlu dicatat bahwa salah satu
cara yang ditempuh Islam guna memberantas kemiskinan -di samping kerja keras-
adalah memberi bantuan, dan karena itu pula ketika sahabat Nabi saw. bertanya
kepada Nabi Muhammad saw. tentang nafkah, al-Qur’an menjelaskan sasaran
pertamanya dalah kedua orang tua, kemudian para kerabat. Rasul saw. menekankan
agar memberi terlebih dahulu siapa yang termasuk dalam tanggungan seseorang,
kemudian yang lebih dekat. “Para kerabat, lebih utama diberi ma’ruf daripada
yang lain.” Apabila setiap orang yang mampu memberi bantuan kepada keluarganya,
niscaya tidak ada keluarga yang menderita karena kemiskinan.
Ayat-ayat yang memerintahkan berbuat
kebajikan di atas tidak menjelaskan objeknya. Hal ini untuk memberi makna
keumuman, sehingga mencakup segala bidang dan objek yang dapat berkaitan dengan
keadilan, ihsan dan pemberian yang dimaksud, baik terhadap manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun terhadap benda mati, dan baik berupa materi
perlakuan maupun jasa. Masing-masing disesuaikan dengan objek yang dihadapi.
Al-fahsya adalah setiap masalah yang buruk atau melampaui batas. Dari padanan
kata inilah lalu dikhususkan, yakni yang bermakna keji memusuhi kehormatan
manusia, karena hal itu adalah perbuatan keji yang di dalamnya mengandung
permusuhan dan melampaui batas. Kata al-ihsan dapat juga diartikan
sebagai nama bagi segala perbuatan atau ucapan bahkan keyakinan yang dinilai
buruk oleh jiwa dan akal sehat, serta mengakibatkan dampak buruk bukan saja
bagi pelakunya tetapi juga bagi lingkungannya.[16]
Sementara kata al-munkar dari segi
bahasa berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari. Itu
sebabnya ia dihadapkan pada kata al-ma’ruf, yang berarti yang dikenal.
Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan ungkapan: “Apabila ma’ruf sudah
jarang dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar sudah
sering dikerjakan ia menjadi ma’ruf.” Maka, dari sinilah syari’at pun
mengingkarinya. Itulah syariat fitrah. Kadang fitrah tersebut menyimpang
dan syariat tetap tegar menunjukkan asal fitrah sebenarnya sebelum ia
menyimpang. Adapun kata al-baghyu adalah kedzaliman dan melampaui batas
terhadap kebenaran dan keadilan.
Tidak akan mungkin sebuah masyarakat akan
tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran, dan permusuhan. Mana mungkin sebuah
masyarakat yang di dalamnya tersebar perbuatan kekejan dengan segala macam
warnanya, kemungkaran dengan segala macam daya tariknya, dan permusuhan dengan
segala aral melintang di dalamnya dapat tegak?
Ibnu Taimiyah mendefinisikan munkar
dari segi pandangan syari’at sebagai “Segala sesuatu yang dilarang oleh agama.”
Dari definisi ini dapat disimak bahwa munkar lebih luas jangkauan pengertiannya
dari kata ma’shiyat yang berarti kedurhakaan. Binatang yang merusak
tanaman, merupakan kemungkaran, tetapi bukan kemaksiatan, karena binatang tidak
dibebani tanggung jawab, demikian juga meminum arak bagi anak kecil adalah
termasuk perkara mungkar, walau apa yang dilakukannya tersebut –melihat
usianya- bukan termasuk maksiat.[17]
Sesuatu yang mubah pun apabila
bertentangan dengan budaya dapat dinilai mungkar, seperti bergandengan tangan
dengan sangat mesra dengan istri sendiri di depan umum apabila dilakukan dalam
suatu masyarakat yang budayanya tidak membenarkan hal tersebut.
Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran
ibadah, perintah non ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia dan
lingkungan sekitar.
Dalam pandangan Ibnu Asyur, munkar
adalah segala sesuatu yang tidak berkenan di hati orang yang normal serta tidak
direstui oleh syari’at, baik ucapan maupun perbuatan. Termasuk di dalamnya hal-hal
yang mengakibatkan gangguan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok maupun
tersier walau tidak mengakibatkan mudharat. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa al-munkar adalah sesuatu yang dinillai buruk oleh suatu
masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi. Ia adalah lawan ma’ruf
yang merupakan sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama
sejalan dengan al-khair.
Kata
al-baghyi yang berarti penganiayaan terambil dari kata bagha yang
berarti meminta atau menuntut. Kemudian maknanya menyempit sehingga pada
umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan dengan cara
aniaya atau tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala pelanggaran hak dalam
bidang interaksi sosial, baik pelanggaran tersebut lahir tanpa sebab, seperti
perampokan, pencurian, maupun dengan dalih yang tidak sah, bahkan walaupun
dengan tujuan penegakan hukum tetapi dalam pelaksanaannya melampaui batas.[18]
Tidak dibenarkan memukul seseorang yang telah diyakini bersalah sekalipun-
dalam rangka memperoleh pengakuannya. Dalam konteks ini al-Qur’an mengingatkan
pada akhir surah ini bahwa: Apabila kamu membalas maka balaslah persis sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu. (QS. An-Nahl: 128)
Kejahatan al-baghyi pun
sebenarnya telah dicakup oleh kedua hal yang dilarang sebelumnya. Tetapi disini
ditekankan karena kejahatan ini- secara sadar atau tidak- sering kali
dilanggar. Dorongan emosi untuk membalas bahkan keinginan menggebu untuk
menegakkan hukum serta kebencian yang meluap kepada kemungkaran, seringkali
mengantarkan seseorang yang taat pun- tanpa sadar- melakukan al-baghy.
Firman-Nya la’allakum tadzakkarun, berarti
agar kamu dapat selalu ingat, yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami
sebagai isyarat bahwa tuntunan-tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai
yang disebut di atas melekat pada nurani setiap orang, dan selalu didambakan
wujudnya. Oleh karena itu, nilai-nilai yang disebut di atas bersifat universal.
Pelanggarannya mengakibatkan kehancuran kemanusiaan.[19]
Demikian ayat-ayat di atas menyimpulkan
nilai-nilai yang sangat mengagungkan. Jangankan dewasa ini, kaum musyrikin pun
yang mendengar ayat di atas tanpa ragu berdecak kagum mendengarnya.
Diriwayatkan bahwa Utsma ibn Mazh’un membacakan ayat ini kepada tokoh yang juga
sastrawan kaum musyrikin Mekah, yakni
al-Walid ibn al-Mughirah. Maka, sang sastrawan berkata “Sungguh ini adalah
kalimat-kalimat yang sangat nikmat terdengar. Ia memiliki keindahan tanpa
cacat, pucuknya berbuah dan dasarnya subur digenangi air. Ia sungguh tinggi dan
tidak dapat tertandingi. Ini sama sekali bukan ucapan manusia.” Dalam riwayat
lain diinformasikan bahwa ketika ayat ini dibacakan kepada paman Nabi saw., Abu
Thalib, ia berseru kepada kaumnya, “Ikutilah Muhammad, niscaya kalian beruntung.
Dia diutus Tuhan untuk mengajak kamu kepada budi pekerti luhur.”
Sahabat Nabi saw., Ibnu Mas’ud, menlai
bahwa inilah ayat al-Qur’an yang paling sempurna kandungannya. Al-Izz
Abdussalam yang digelari Sulthan al-Ulama menamainya asy-syajarah
atau pohon yang mengandung semua hukum syari’at serta bab-bab ilmu fiqh/hukum.
Imam as-Subki menamainya syajar al-ma’arif, yeng bermakna pohon
pengetahuan. Agaknya itu pula sebabnya sehingga Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
ra. Memerintahkan untuk membaca ayat ini pada setiap akhir khhutbah jum’at,
sebagai ganti tradisi yang dilakukan pendahulu-pendahulunya yang mengecam dan
memaki Ali bin Abi Thalib ra. –makian tersebut dinilai oleh khalifah yang adil
itu sebagai tidak adil serta merupakan salah satu bentuk al-baghy.[20]
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# cÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( wur (#qÝ¡¡¡pgrB wur =tGøót Nä3àÒ÷è/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& @à2ù't zNóss9 ÏmÅzr& $\GøtB çnqßJçF÷dÌs3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat:
12)
Dalam ayat di atas sudah jelas sekali
bahwa orang-orang mukmin dilarang keras untuk berburuk sangka, baik kepada
sesamanya maupun kepada Allah swt sendiri. Buruk sangka kepada sesama manusia
dapat berbentuk pikiran-pikiran buruk seseorang tentang suatu hal buruk yang
masih belum diketahui kebenarannya. Sedangkan buruk sangka kepada Allah swt
dapat berupa prasangka buruk dan keluhan atas segala kejadian yang ditetapkan
oleh Allah swt, padahal sebenarnya Allah Maha mengetahui atas segala ketetapan
yang telah Allah gariskan pada manusia. Tak jarang manusia pada akhirnya
bersyukur atas apa yang sebelumnya diyakini buruk olehnya, Allah berkenan untuk
menyimpan misteri hikmah yang terkandung di setiap peristiwa yang tidak
diinginkan oleh manusia.
Selain berburuk sangka, ayat di atas juga
menerangkan tentang larangan Allah swt kepada hamba-Nya untuk mencari-cari
keburukan orang lain dan saling menggunjing di antara mereka. Hal ini tak lain
ditujukan untuk menjaga keseimbangan perdamaian yang terdapat di antara sesama
manusia dan demi kemaslahatan manusia itu sendiri dalam menjaga hubungan
silaturrahim.
Penegasan sifat buruk ini dimetaforakan
dalam penjelasan selanjutnya, yakni sangat menjijikannya untuk memakan daging
saudara yang sudah mati. Hal ini menunjukkan
betapa sifat-sifat buruk, yaitu berburuk sangka, saling mencari
kesalahan dan keburukan orang lain dan saling menggunjing merupakan sifat-sifat
yang sangat menjijikkan di sisi Allah swt. Oleh karena itu, Allah melarang hal
tersebut dengan tegas dalam surat al-Hujurat ayat 12.
Apabila seseorang telah terlanjur
melakukan hal-hal keji tersebut, maka di ayat selanjutnya Allah berfirman bahwa
Allah merupakan dzat Penerima Taubat dan Maha Penyayang, yang menunjukkan bahwa
Allah tidak lantas melaknat pelaku perbuatan tersebut, melainkan Allah
memberikan peluang kepada mereka untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat
karena Allah swt. Adalah dzat Yang Maha Penyayang terhadap manusia yang mau
bertaubat. Pintu taubat tidak akan tertutup selama nafas tidak berada di
kerongkongan, atau saat ajal menjemput. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk
bertaubat sesegera mungkin sebelum nasi menjadi bubur.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Silaturrahmi merupakan hubungan antar
sesama manusia yang harus dijaga sebaik mungkin demi terciptanya hubungan yang
baik di antara sesama manusia. Silaturrahmi memberikan keuntungan terendiri
kepada manusia dalam menjaga hubungan silaturrahmi tersebut.
Persatuan di kalangan umat manusia harus
berada di benteng yang benar-benar kokoh, sebab persatuan merupakan rahmat
tersendiri bagi manusia yang dianugerahkan oleh Allah swt dalam menjaga
perdamaian dan ketenteraman bersama, berbeda dengan masa-masa perang yang
terjadi pada zaman dahulu.
Berburuk sangka merupakan perbuatan yang
sangat keji di sisi Allah swt, saking kejinya sampai-sampai Allah memajaskan
perbuatan tersebut dengan memakan bangkai saudaranya sendiri.
B. Saran
Sebagai manusia yang bersifat sosial dan
tidak dapat hidup sendiri-sendiri manusia harus menjaga hubungan silaturrahmi
di antara sesamanya.
Persatuan di kalangan umat manusi harus
ditegakkan demi terciptanya keamanan dan ketenteraman bersama. Manusia harus
mempertahankannya dengan mellakukan berbagai cara dan berusaha sekuat mungkin
untuk menghindari perselisihan.
Berburuk sangka haruslah dihindari demi
terciptanya hubungan baik di antara sesama manusia dan untuk melaksanakan
syaria’at Allah yang termaktub dalam surat an-Nahl ayat 90 dan surat al-Hujurat
ayat 12.
[1]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.13, (jakarta: Lentera Hati,
2000), hlm. 145-146
[2]
Ibid
[3]
Ibid. hlm. 147
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.2, (Jakarta: Lentera Hati,
2000), hlm. 167
[5]
Ibid.
[6]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, loc. cit. hlm. 159
[7]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001),
hlm. 124
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.7, (Jakarta: Lentera Hati,
2000), hlm. 323
[10]
At-Thabary, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’ashir
dan Damaskus, 1998), hlm. 207
[11]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, loc.cit, hlm. 324
[12]
Ibid. hlm. 325
[13]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op.cit. hlm. 326
[14]
Ibid.
[15]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op.cit.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid. hlm. 327
[18]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op.cit.
[19]
Ibid. hlm. 328
[20]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op.cit.
0 comments:
Post a Comment